Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Trenggalek Jl. Raya Sugihan - Kampak Kabupaten Trenggalek Jawa Timur 66373

MASA DEPAN SURGA KAUM ABANGAN
Oleh : Drs. Umar Has

          Trikotomi Gertz yang monumental tentang abangan, santri, priyayi dalam masyarakat jawa (the relegiun of Java) secara teoritis mungkin sudah tidak relevan lagi dalam konteks kekinian perjalanan bangsa Indonesia, akan tetapi dalam tataran terapan  justru bangsa ini telah dikuasai secara praktis oleh kaum abangan, baik dalam pengertian secara tektual maupun pengertian secara kontekstual. Kaum abangan (liberal) telah berkiprah dalam menentukan masa depan bangsa ini dengan menggunakan pendekatan dikotomi pendidikan sebagai senjata. Karena arena yang sangat paling menentukan dalam perjalanan bangsa ini adalah grand desaign aturan pendidikan. Tanpa kita sadari pendidikan dalam tataran sistem telah berangkat menuju sekularisasi atau abangisasi. Namun patut kita bersedih hati umat Islam belum  memahami ini sebagai titik sentral perjuangan. Tokoh-tokoh Islam memandangnya sebagai sebuah kewajaran, belum ada diantara mereka yang bersuara lantang menentang kekuatan kaum abangan yang hanya bersebelahan kursi dengan mereka.
     Bukankah pendidikan umum yang menjadi anak kandung yang dimanja pemerintah telah melahirkan manusia Indonesia yang hanya dapat memahami Islam sebagai luarnya saja. Menurut hemat penulis inilah adalah salah satu ibu kandung yang melahirkan nabi-nabi palsu akhir-akhir ini. Ketidak mampuan memahami agama secara benar telah berakibat fatal, maklum dalam pendidikan umum pengajaran  agama mendapatkan porsi 2 jam seminggu. Tidak cukup ruang untuk memasukkan unsur pendidikan agama yang lebih luas karena padatnya kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Umat Islam harus peka terhadap proses jahat ini.
       Sedangkan  di pihak lain pemerintah telah mematikan pendidikan yang dikelola masyarakat dengan berbagai cara. Memang dalam aturan secara umum pendidikan yang dikelola masyarakat tidak pernah diperlakukan secara diskriminatif tetapi dalam prakteknya justru pemerintah telah melakukan usaha serius untuk menafikan pendidikan yang dikelola umat Islam. Pendidikan madrasah di Indonesia memberikan sumbangan yang signifikan, 20 % siswa belajar di madrasah dalam keseluruhan usia sekolah yang ada di tanah air. Telah terjadi perang budaya dalam kehidupan berbangsa kita. Celakanya media perang  tersebut adalah kebijakan tentang pendidikan, sehingga sudah dapat dipastikan  pemenangnya adalah kaum liberal, karena sejauh ini kaum beragama sebut saja kaum santri merasa tidak merasa kalah. Karena bagaimanapun juga yang terjadi pada perang budaya, korbannya tidak merasa kalah bahkan merasa senang. Tapi harus disadari oleh umat Islam perang itu secara sistimatis telah memperdayakan kita, karena kalau kita kalah  dalam strategi perang budaya dalam media pendidikan ini, dampaknya akan cukup memakan waktu  yang lama.
       UU Sikdiknas pasal 8, bahwasannya masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Ditambah lagi UU no. 22 tentang kewenangan pemerintah daerah.  Kedua sumber hukum ini bisa menjadi titik sentral landasan  perjuangan masyarakat terhadap keadilan sistem pendidikan di  daerah.
Walaupun sudah adanya payung hukum terhadap berbagai persoalan pendidikan yang mengemuka akhir-akhir ini, namun belum cukup untuk mengembalikan pada azas egalitarianisme pengelolaan madrasah di daerah. Sebagai sebuah ilustrasi mengenai perkembangan Pendidikan di tanah air. Pada tingkat pendidikan dasar, jumlah MI negeri hanya 4,8%, sedangkan MI swasta 95,2%. Keadaan ini terbalik dengan SDN yang berjumlah 93,1%, sedangkan SD swasta 6,9%. Keadaan serupa juga terjadi pada tingkat SLTP, yakni MTsN berjumlah 24,3%, sedangkan MTs. swasta 75,7%. Sebagai perbandingan, di lingkungan Depdiknas SMPN berjumlah 44,9%, sedangkan SMP swasta 55,9%. Demikian pula pada tingkat SLTA, MAN berjumlah 30%, sedangkan MA swasta 70%. Di lingkungan Depdiknas, SMUN berjumlah 30,5%, sedangkan SMU swasta 69,4%.
       Melihat fakta di atas masyarakat kita cukup peduli terhadap keberlangsungan pendidikan di Tanah air. Namun dalam kenyataan dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah  mengarahkan sinar lasernya terhadap pendidikan Negeri saja. Paradoks sekali terhadap kebutuhan yang ada, dimana perkembangan pendidikan swasta/ madrasah yang seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah karena pendidikan yang tersebut terakhir hanyalah pendidikan yang dikelola masyarakat, yang sudah sangat pasti terbatas dalam pendanaannya.
Pada tahun anggaran 1999/2000, sebagai salah satu contoh, pemerintah mengeluarkan kebijakan pembiayaan pendidikan per siswa untuk MIN adalah Rp 19.000,00 sedangkan SDN Rp 100.000,00 (1:5,2). Kemudian, MTsN Rp 33.000,00 sedangkan SMPN Rp 46.000,00 (1:1,4). Sedangkan SMUN Rp 67.000,00 (1:1,3) dan IAIN Rp 50.000,00 sedangkan UN/institut negeri Rp 150.000,00 (1:3).
Kebijakan ini sungguh tidak adil, terlebih lagi kebijakan ini masih terfokus pada madrasah-madrasah negeri yang hanya 10%-nya saja dari keseluruhan madrasah yang ada. Ketakberimbangan ini masih terus berlangsung sampai saat ini. Ketika anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 20%, pemerintah daerah membatasi pendidikan hanya untuk pendidikan umum. Madrasah kerap tidak masuk dalam kategori anggaran. Alasannya sangat teknis, bahwa madrasah telah menjadi tanggung jawab departemen agama. Padahal pada sisi lain, laporan partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang dilakukan pemerintah daerah (dalam rangka penghitungan IPM, misalnya) memasukkan data-data madrasah sebagai capaian program pembangunan pendidikan.
           Adanya grand design untuk memperlihatkan kekuatan kaum liberal atau abangan yang sangat dominan mengusai pemerintah dan parlemen. Karena adanya semacam kekuatiran jika kaum beragama ini dominan maka  kebebasan, keterbukaan yang mereka dengung-dengungkan akan berkurang, tidak seperti yang mereka harapkan. Ingat, kita sekarang berada dalam perang budaya. Awal pemerintahan Orde Baru (1966), Indonesia mengembangkan dua sistem pendidikan, yaitu pendidikan umum dan keagamaan. Dualisme sistem pendidikan ini sebenarnya produk dari masa kolonialis Belanda. Sistem pendidikan ini pula yang melahirkan dua dasar politik utama, yaitu kekuatan Islam   dan Nasionalisme. Namun dalam perkembangan selanjutnya secara samar kekuatan kaum  muslimin di Indonesia mulai disingkirkan secara perlahan-lahan dengan berbagai cara. Salah satunya yang paling essensi adalah dsikriminasi pendidikan agama.
           UU No 20/2003 menyiratkan peluang yang sama kepada madrasah dan pesantren yang bukan sekolah umum berciri khas Islam untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak didiskriminasikan. Namun, ditingkat implementasi pengelolaan, penyelenggaraan madrasah, apakah terjadi yang sedemikian atau sebaliknya? Apakah tidak muncul tarik menarik terkait dengan kewenangan pengelolaan secara sentralisasi atau desentralisasi?  mencuat pandangan dominan bahwa ketertinggalan pendidikan di madrasah disebabkan oleh perlakuan diskriminasi pemerintah.
Sebenarnya, dalam konteks otonomisasi pendidikan, pembelajaran yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan pemerintah pada posisi sebagai fasilitator dan bukan pengendali.
Tetapi ada beberapa permasalahan yang tidak bisa kita tutup-tutupi yang justru menjadi kendala dalam pegembalian fungsi madrasah sebagai  bagian dari penegakan sistem, antara lain :
1. Kelompok status quo yang masih banyak mengusai Departemen pendidikan, dimana kelompok ini dengan perasaan egonya seakan-akan mereka saja  yang dapat mengelola pendidikan dengan  baik.
2. Kelompok Wakil Rakyat yang acuan dasar tentang dudukan dan jabatannya hanyalah profit oriented dan pesta kedudukan. Bukan sekali-kali berangkat dari kesadaran akademik  dan sikap profesionalisme yang  mengacu pada idealisme gagasan arus bawah. Celakanya politisi muslim yang jelas-jelas dari partai santripun tidak mengenal perjuangan dasar ini.
3. Persepsi penguasa tentang UU otonomi daerah dan kesadaran pendidikan arus bawah sangatlah rendah. Hal ini berhubungan dengan talenta aparatur daerah yang sangat lemah dan premordialis.
Ada solusi sederhana  yang dapat memecahkan kebuntuan pemikiran ini, serta mencari jalan keluarnya secara arif, supaya kepeminpinan bermamfaat bagi masyarakat banyak, antara lain :

Pertama, pemikiran yang paling sederhana ditingkat kebijakan, namun bisa bervariasi ditingkat implementasi, yakni menginginkan pendidikan madrasah tetap di bawah Depag secara struktural. Namun, pengelolaan di tingkat daerah diotonomikan sejalan semangat  UU tersebut. Tetapi tidak boleh merugikan ciri khas Pendidikan Agama Islam dalam pelaksanaan pendidikan di Madrasah baik jangka pendek maupun panjang.

Kedua, Jika  sentralisasi tetap sebagai pilihan maka Depag masih secara langsung menyelenggarakan pembinaan madrasah seperti selama ini, walaupun hal ini tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi, yaitu otonomi yang seluas-luasnya dalam segala bidang. Secara tehnis Depag bisa saja sebagai penanggung jawab pelaksanaan pendidikan madrasah tetapi dalam pengelolaannya pendanaan  bisa dapat dilakukan oleh  pemerintah daerah.  

Ketiga, Mempersamakan persepsi anatara DPR, Depdiknas dan Depag serta masyarakat. Pemda setempat memberikan perhatian cukup besar, termasuk anggaran terhadap madrasah dan pesantren. Hal ini secara kalkulasi politik tentu saja akan menguntungkan pembangunan daerah.
Tidak ada lagi diskriminasi perlakuan antara madrasah dan sekolah umum yang menyakitkan. Pengaturan dana antara pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag hanya masalah teknis prosedural yang diharapkan bisa diatur dan dikompromikan. Misalnya, melalui Panitia Kerja Anggaran Bersama untuk menentukan kebijakan yang adil dan proporsional antara anggaran pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag.

Keempat, menyerahkan pengelolaan madrasah ke pemda tingkat II sehingga satu atap dalam penyelenggaraan dan Depag bisa masuk sebagai pembinaan dan pengarahannnya. Kelebihannya, antara lain pengakuan madrasah sebagai bagian dari pendidikan di daerah akan  semakin kuat sehingga memperoleh perlakuan sejajar dan tidak ada diskriminasi termasuk dalam masalah anggaran.
Bila kita merujuk pada filosofi demokrasi bahwa inspirasi masyarakat menjadi dasar dari kebijakan, maka keberadaan madrasah dengan  tingkat partisispasi yang tinggi.  Dapat menjadi landasan bagi seluruh program pembangunan di masa depan. Dengan demikian, pemerintah daerah dapat menjadikan madrasah sebagai ujung tombak peningkatan daya baca, daya saing, serta dapat memberikan warna dalam perkembangan Pendidikan Nasional.
Saatnya kini untuk memperjuangkan pendidikan dengan bercermin pada apa yang sudah dilakukan oleh masyarakat. Tapi apakah para pemimpin kita punya naluri sepeka ini, kita tunggu !


0 komentar:

Halaman Facebook

Total Pageviews

Followers

WELCOME TO THE "GREEN CAMPUS" MTsN 2 TRENGGALEK JAWA TIMUR....MADRASAH ADIWIYATA NASIONAL

"THE GREEN CAMPUS" OF MADTSADUTA

"THE GREEN CAMPUS" OF MADTSADUTA
MADRASAH ADIWIYATA NASIONAL

Info Populer